Indonesia Krisis Demokrasi : Tolak Wacana Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Periode Jabatan Presiden
Oleh : Siti Nursyahida (Sekretaris Departemen Advokastrat BEM FATEPA UNRAM 2022)
Akhir-akhir ini masyarakat di hebohkan dengan adanya wacana 3 periode pemerintahan Jokowi. Dalam Pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah jelas disebutkan bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Mengacu pada pasal di atas, krisis Demokrasi seperti yang telah disebutkan di awal makin konkret adanya.
Dilansir dari liputan 6.com, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet dengan tegas menolak untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. “Pembatasan maksimal dua periode dilakukan agar Indonesia terhindar dari masa jabatan kepresidenan tanpa batas, sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu. Sekaligus memastikan regenerasi kepemimpinan nasional bisa terlaksana dengan baik. Sehingga tongkat estafet kepemimpinan bisa berjalan berkesinambungan, tidak hanya berhenti di satu orang saja” jelas Bamsoet, Senin, 15 Maret 2021. Pemerintahan 3 periode akan membawa kita ke nuansa pemerintahan suram di masa lalu yang memiliki kekuasaan atau kewenangan penguasa yang tak terbatas, melainkan haruslah terjadi kontinuitas didalamnya.
Wacana 3 periode belum tuntas, wacana penundaan Pemilu 2024 pun ikut serta mengiringi. Berawal dari pernyataan Menteri Investasi Indonesia dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, yang mengatasnamakan pengusaha, “Kalau wacana penundaan bisa dilakukan secara konprehensif dan dalam mekanisme UU, dalam pandangan saya itu akan bagus untuk investasi”. Penundaan pemilu adalah suatu tindakan inkonstitusional, karena dalam UUD 1945 pasal 22 E telah disampaikan , bahwa “Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Artinya kalau mau diadakan penundaan pemilu, maka haruslah melalui prosedur amandemen terhadap pasal yang bersangkutan, dan prosesnya tidaklah mudah.
Pakar hukum tata negara dari STIH Jentera Bivitri Susanti pun angkat bicara dan menolak keras wacana penundaan pemilu ini. “Kenapa pemilu rutin penting bagi demokrasi? Karena kita membutuhkan yang namanya sirkulasi elit. Kita membutuhkan pergantian kekuasaan yang sifatnya rutin, supaya demokrasi kita terus sehat,” kata Bivitri kepada Kompas.com, Selasa (15/3/2022). “Jadi sekali saja ditunda, maka bangunan demokrasi kita akan goyah dan kemudian runtuh,” sambungnya. Kita juga dapat menoleh ke belakang, dimana pada masa orde baru juga pernah dilakukan penundaan pemilu, yakni pada tahun 1968. Penundaan tersebut berdampak pada berkurangnya partisipan pemilu. Sehingga dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penundaan pemilu memang benar merusak demokrasi.
Pada 13-20 Maret 2022 dilakukan survei pendapat publik terkait isu ini. 1220 responden dipilih secara acak dengan metode stratified multistage random sampling terhadap keseluruhan populasi atau warga negara Indonesia yang sudah memiliki hak pilih, yakni mereka yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah. Hasil survei dengan alasan pendemo covid-19 menunjukkan bahwa sebanyak 78,9 persen publik ingin pemilu tetap digelar di 2024 dan menolak untuk ditunda. Kemudian survei penundaan pemilu dengan alasan ekonomi juga disebut mendapatkan respons penolakan yang cukup besar. Deni Irvani, Direktur Riset SMRC menyampaikan, sebanyak 79,8 persen publik menginginkan pemilu 2024 tetap digelar meski kondisi ekonomi akibat pandemi belum pulih. “Hanya ada 11,4 persen masyarakat yang setuju pemilu diundur karena alasan pemulihan ekonomi,” tuturnya.
Jika kita kembali mengingat sejarah, pada tahun 1977 yakni menjelang pemilu di tahun tersebut, terjadi berbagai masalah penyimpangan politik juga, seperti soal pemilu mulai dari kampanye sampai berlangsungnya pemilihan umum. Pergolakan mahasiswa yang berskala masif pun timbul. Gerakan mahasiswa saat itu juga untuk mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional. Perjuangan gerakan mahasiswa saat itu mengindikasikan kepekaan mahasiswa terhadap polemik yang ada di negara, dimana mahasiswa bersikap terbuka guna menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Sebagai Mahasiwa yang merupakan agent of change dan agent of control, hendaklah kita ikut andil dalam menanggapi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Semangat kita haruslah lebih membara dari gerakan mahasiswa di era sebelumnya. Gerakan Mahasiswa kerap dianggap sebagai cikal bakal perjuangan nasional, mengingat gerakan mahasiswa yang sudah ada sejak 1908 sampai akhirnya melebar di era reformasi. Ketika para petinggi mengeluarkan suatu kebijakan yang terdapat penyimpangan demokrasi dan tindakan inkonstitusional lainnya didalamnya, kita harus menjadi garda terdepan yang mengaspirasikan hal tersebut untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
References :
https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2008/10TAHUN2008UUPenj.htm
https://amp.kontan.co.id/news/menteri-bahlil-bicara-soal-penundaan-pemilu-2024-jangan-diharamkan